Oleh : Ana Marita
Taman
itu begitu bening. Hanya sesekali terdengar desing sayap kumbang yang asyik
menghisap madu bunga. Pipit mencicit sayup-sayup. Menikmati hening. Diam.
Saling menatap. Seakan membaca gerak bola hitam-putih itu yang seolah berkata,
‘ya, aku sangat mencintaimu, apakah itu masih perlu kautanyakan?’. Namun tak
sedikitpun desis menyapa telinga. Sunyi.
Sepuluh
tahun yang lalu. Di tempat yang sama, dalam kesunyian yang tak berbeda, garis
takdir mengisyaratkan pertemuan mereka. Tak ada rona merah, kegugupan, atau
apapun. Hanya hening. “Kau selalu diam?” si wanita membuka dengan kekaguman
nyata. Ada senyum yang tergurat. Tipis namun mengiris.” Aku? Ya, duniaku ada di
sana, indah dan agung”. “Sungguhkah?” mata indah itu membola. “Ajak aku ke
sana, aku Silva,” tangan itu merengkuh pundaknya. Dipa. Senyum Dipa kembali
tersinggung. Silva.
Aura cemerlang menguar di udara saat ia berkata. Dipa hanya ternganga saat menganggukkan kepala. Sedikitpun ia tak pernah menyangka, senjanya akan berubah jingga.
Aura cemerlang menguar di udara saat ia berkata. Dipa hanya ternganga saat menganggukkan kepala. Sedikitpun ia tak pernah menyangka, senjanya akan berubah jingga.
Lembut sayap kupu-kupu mengelusku, buatku terjaga. Kudongakkan kepala menatapnya menjauh, melebur dalam pusaran warna, menjelmakan langit. “Ah... spektrum warna abadi, kompleks, nyata, namun menjelmakan bayang, sebuah lambang nan suci...” batinku bergetar menatapnya. “mimpi, aku tahu cintamu begitu murni, bahkan kupu-kupu pun mampu melahirkannya. Kini, aku ingin mengujimu bersama makhluk bernama manusia, bersediakah kau?” suara Peri Agung menggema. Aku terperanjat. “Namun, apa yang harus kuperbuat Peri? Dan bagaimana aku bisa kembali?” ada bingung yang mendesak. “Tenang, mimpi, kelak akan kau temui manusia bernama Silva, dia akan mencintaimu, biarkan dia, dan kelak jika ada yang berubah dari cintanya, kau akan kembali.”Aku diam dalam suaranya. “Peri, haruskah kuberikan cintaku padanya?” aku kian bimbang. Peri mengangguk. “Biarkan ia menjadi kupu-kupumu di bumi. Katakan engkau adalah Troya. “Peri Agung menghilang. Dan saat aku sadar sepenuhnya, aku telah berdiri dalam jejalan manusia.
“Namamu
unik, Troya, itu mengingatkanku pada sebuah peperangan,” lugu, ia mulai
berkata. Silva. “Unik? Ya, mungkin, aku
tak merasakannya, hanya sebuah nama.” Ia diam. Matanya tak lepas dariku. Silva.
Cinta yang dijanjikan Peri untukku. Ia begitu cemerlang seperti mentari. Bunga
penghuni taman ini mendadak memusuhinya. “Baiklah, Troya, mugkin memangtak ada
yang istimewa dari namamu. Tapi, salahkah jika aku menyukainya?” ada gemericik
air dan semilir angin yang tiba-tiba menerpa. Ku tatap wajah eloknya. “Apakah
ini yang kau sebut cinta?” angin berhenti berhembus untuk mendengar jawabnya.
Namun kali ini rona merah itu yang bersuara ‘cinta’, adakah kau juga merasakan
hembus nafasnya? Aku tertegun. Saatnya telah tiba. Dan saat mentari merekah
esok hari, aku akan menyambutnya bersama Silva, janji cintaku, seterusnya.
Hari
yang terus berganti . . .
Sepuluh
tahun yang indah, penuh warna Silva, hangat seperti mentari. Tapi entah, hari
ini aku merasa akan ada badai besar yang melanda tiba;tiba. Pergi entah kemana,
datang entah dari mana. Aku ingin diam. Tapi aku bukan Silva.
‘’Hei,
Troyaku, adakah hatimu masih berperang hingga hari ini?’’ada rangkulan mesra di
pundak bimbang ini. Kata-kata yang sama, sepuluh tahun tak berubah, seperti
cinta, namun entah, aku hanya diam.
Hening
lama. Silva mulai beranjak. Ada samar duka membiasi eloknya. Mendadak liurku
terasa begitu getir. Namun tetap diam.
‘’Bu,
apakah kau mau, Silva kehilangan nyawanya juga, hah?’’urat-urat menggelepar di
bawah selimut kulit legam. Rakanata, ayah Silva.
Nastiti
hanya ingin tergugu, menggeleng seraya menyusut air mata dengan ujung batiknya.
‘’Nah,
kalau kau tak mau, mengapa tak kau turuti perintahku untuk meninggalnya di
hutan ?’’ mata itu mulai menggarang, berlomba melompat.
Nastiti
menghela nafas.’’ Dipa anak kita juga, Pak sama seperti Silva, aku sungguh tak
tega membiarkanya sendiri di hutan’’ tertatap kembali olehnya lantai tanah yang
mengepulkan debu.
‘O. .
.jadi kau lebih suka kita semua menjadi santapan srigala? Sudah berani
membangkang kau, hah?! Minggir, biar aku saja yang membuangnya!’’ Rakaananta
membopong tubuh munggil yang telah lelap itu.
Langkahnya
kian jauh. Menerabas kelam, Meninggalkan Nastiti dalam isak pedih.
Mentari
itu kian meredup. Langkahnya melunglai menapaki tebaran debu yang menumpuk di
petak jalan setapak.
Tiba-tiba
debu menghambur. Bersitap. Memori lama itu mengelupas. Tegak berdebu dihadapan
Silva, menggulurkan tangan yang tulus.
‘’Apa kau
terluka?’’
Silva
memamerkan sederet gigi rapinya, menggeleng,sibuk membersihkan debu yang enggan
lepas darinya.
‘’Kau
ingat?’’
Disusurinya
jengkal wajah dihadapannya sementara otaknya sibuk membuka lembaran-lembaran
lama, menyusur, mengharap menemukan sisa jejak yang membantu.
‘’Kau . .
.Dipa?!’’desis itu terlontar bersama segumpal ketidakpercayaan. Wajah itu
mengangguk.
‘’Aku
percaya, Silva, ada hari yang mempertemukan kita,’’
Mulailah,
awan itu, Dipa, menyamarkan pandanganku dari sang mentari, menyejukkannya dalam
keteduhan damai, membiarkanku gesang terkikis rasa.
Di suatu
hari yang pedih...
Kau tahu,
jiwaku terasa padat, hambar, menggumpal, ingin meledakkan setiap amarah yang
perlahan mengendap di dasar hati. Silva, mentariku, berapa lama...?
“Mimpi,
kau tak perlu menangis, bukankah kau mampu mencipta cinta? Bukankah kau hidup
karenanya?” Peri Agung menyapa.
Aku
menggeleng. “Tidak, Peri, semua cintaku telah tercurah untuk Silva, kini aku
bukanlah apa-apa, Peri, tapi dia meninggalkanku,” mataku kembali berair.
“Mimpi,
dengar, manusia yang merebut Silva darimu sesungguhnya adalah adiknya yang
telah lama hilang, tahukah kau?” Peri kembali berkata. Sungguhkah demikian?
Entahlah.
“Percayalah,
mimpi, dia akan kembali padamu,meski harus terluka. “Peri tlah lenyap sebelum
aku bertanya.
“Jadi,
benarkah bahwa Dipa telah dibuang?” aku menatap Nastiti dan Rakananta yang tertunduk
sedari tadi. Tak bicara. “Mengapa kalian membuangnya?” aku kembali bertanya,
Rakananta mulai mengangkat muka.
“Ka-kami
tak-tak i-ngin se-seluruh wa-warga de-desa menjadi san-santapan srigala” gagap
Rakananta menjawab. Srigala? Hanya itu? Sungguh malang Dipa. “Tak adakah jalan
lain untuk mengusirnya?”
“Ada” kali
ini Nastiti. “Asal bisa mengembalikan jiwa laki-laki Dipa seutuhnya atau...” ia
diam.
“Jalan
lain?” aku terus mengejar.
“Ya, atau
menjadikan Silva kekasih selamanya,” tutup Nastiti sendu. “Akan aku lakukan
itu!” aku beranjak, langkahku menuntunku pulang.
Saat
hariku masih mendung...
Mentari,
Tak
tahukah kau
Gerimis
ini begitu menyiksa
Awan licik
itu kan buatmu binasa
Lebur dan
musnah
Mentari,
Gersang
ini menyemaikan mekar
Petir ini
buat dunia menari
Namun
sungguh mentari,
Tidak bila
tanpamu...
“Troya,
akankah kau diam selamanya?” mentariku muncul. Wajahnya sewarna gerimis.
“Silva, dengar aku, percayalah, Dipa adalah adikmu,” suaraku di ambang lenyap,
Silva menggeleng.
“Troya,
apa maksudmu? Siapa Dipa?” ada riak kemarahan di sana, namun sinar kebohongan
itu tak terbantahkan. Aku bergeming. Diam.
0 komentar:
Posting Komentar