Labels

Selasa, 08 Januari 2013

LARA HATI

Oleh : Ana Marita
Taman itu begitu bening. Hanya sesekali terdengar desing sayap kumbang yang asyik menghisap madu bunga. Pipit mencicit sayup-sayup. Menikmati hening. Diam. Saling menatap. Seakan membaca gerak bola hitam-putih itu yang seolah berkata, ‘ya, aku sangat mencintaimu, apakah itu masih perlu kautanyakan?’. Namun tak sedikitpun desis menyapa telinga. Sunyi.
Sepuluh tahun yang lalu. Di tempat yang sama, dalam kesunyian yang tak berbeda, garis takdir mengisyaratkan pertemuan mereka. Tak ada rona merah, kegugupan, atau apapun. Hanya hening. “Kau selalu diam?” si wanita membuka dengan kekaguman nyata. Ada senyum yang tergurat. Tipis namun mengiris.” Aku? Ya, duniaku ada di sana, indah dan agung”. “Sungguhkah?” mata indah itu membola. “Ajak aku ke sana, aku Silva,” tangan itu merengkuh pundaknya. Dipa. Senyum Dipa kembali tersinggung. Silva.
Aura cemerlang menguar di udara saat ia berkata. Dipa hanya ternganga saat menganggukkan kepala. Sedikitpun ia tak pernah menyangka, senjanya akan berubah jingga.

Lembut sayap kupu-kupu mengelusku, buatku terjaga. Kudongakkan kepala menatapnya menjauh, melebur dalam pusaran warna, menjelmakan langit. “Ah... spektrum warna abadi, kompleks, nyata, namun menjelmakan bayang, sebuah lambang nan suci...” batinku bergetar menatapnya. “mimpi, aku tahu cintamu begitu murni, bahkan kupu-kupu pun mampu melahirkannya. Kini, aku ingin mengujimu bersama makhluk bernama manusia, bersediakah kau?” suara Peri Agung menggema. Aku terperanjat. “Namun, apa yang harus kuperbuat Peri? Dan bagaimana aku bisa kembali?” ada bingung yang mendesak. “Tenang, mimpi, kelak akan kau temui manusia bernama Silva, dia akan mencintaimu, biarkan dia, dan kelak jika ada yang berubah dari cintanya, kau akan kembali.”Aku diam dalam suaranya. “Peri, haruskah kuberikan  cintaku padanya?” aku kian bimbang. Peri mengangguk. “Biarkan ia menjadi kupu-kupumu di bumi. Katakan engkau adalah Troya. “Peri Agung menghilang. Dan saat aku sadar sepenuhnya, aku telah berdiri dalam jejalan manusia.
“Namamu unik, Troya, itu mengingatkanku pada sebuah peperangan,” lugu, ia mulai berkata. Silva. “Unik? Ya, mungkin,  aku tak merasakannya, hanya sebuah nama.” Ia diam. Matanya tak lepas dariku. Silva. Cinta yang dijanjikan Peri untukku. Ia begitu cemerlang seperti mentari. Bunga penghuni taman ini mendadak memusuhinya. “Baiklah, Troya, mugkin memangtak ada yang istimewa dari namamu. Tapi, salahkah jika aku menyukainya?” ada gemericik air dan semilir angin yang tiba-tiba menerpa. Ku tatap wajah eloknya. “Apakah ini yang kau sebut cinta?” angin berhenti berhembus untuk mendengar jawabnya. Namun kali ini rona merah itu yang bersuara ‘cinta’, adakah kau juga merasakan hembus nafasnya? Aku tertegun. Saatnya telah tiba. Dan saat mentari merekah esok hari, aku akan menyambutnya bersama Silva, janji cintaku, seterusnya.
Hari yang terus berganti . . .
Sepuluh tahun yang indah, penuh warna Silva, hangat seperti mentari. Tapi entah, hari ini aku merasa akan ada badai besar yang melanda tiba;tiba. Pergi entah kemana, datang entah dari mana. Aku ingin diam. Tapi aku bukan Silva.
‘’Hei, Troyaku, adakah hatimu masih berperang hingga hari ini?’’ada rangkulan mesra di pundak bimbang ini. Kata-kata yang sama, sepuluh tahun tak berubah, seperti cinta, namun entah, aku hanya diam.
Hening lama. Silva mulai beranjak. Ada samar duka membiasi eloknya. Mendadak liurku terasa begitu getir. Namun tetap diam.
‘’Bu, apakah kau mau, Silva kehilangan nyawanya juga, hah?’’urat-urat menggelepar di bawah selimut kulit legam. Rakanata, ayah Silva.
Nastiti hanya ingin tergugu, menggeleng seraya menyusut air mata dengan ujung batiknya.
‘’Nah, kalau kau tak mau, mengapa tak kau turuti perintahku untuk meninggalnya di hutan ?’’ mata itu mulai menggarang, berlomba melompat.
Nastiti menghela nafas.’’ Dipa anak kita juga, Pak sama seperti Silva, aku sungguh tak tega membiarkanya sendiri di hutan’’ tertatap kembali olehnya lantai tanah yang mengepulkan debu.
‘O. . .jadi kau lebih suka kita semua menjadi santapan srigala? Sudah berani membangkang kau, hah?! Minggir, biar aku saja yang membuangnya!’’ Rakaananta membopong tubuh munggil yang telah lelap itu.
Langkahnya kian jauh. Menerabas kelam, Meninggalkan Nastiti dalam isak pedih.
Mentari itu kian meredup. Langkahnya melunglai menapaki tebaran debu yang menumpuk di petak jalan setapak.
Tiba-tiba debu menghambur. Bersitap. Memori lama itu mengelupas. Tegak berdebu dihadapan Silva, menggulurkan tangan yang tulus.
‘’Apa kau terluka?’’
Silva memamerkan sederet gigi rapinya, menggeleng,sibuk membersihkan debu yang enggan lepas darinya.
‘’Kau ingat?’’
Disusurinya jengkal wajah dihadapannya sementara otaknya sibuk membuka lembaran-lembaran lama, menyusur, mengharap menemukan sisa jejak yang membantu.
‘’Kau . . .Dipa?!’’desis itu terlontar bersama segumpal ketidakpercayaan. Wajah itu mengangguk.
‘’Aku percaya, Silva, ada hari yang mempertemukan kita,’’
Mulailah, awan itu, Dipa, menyamarkan pandanganku dari sang mentari, menyejukkannya dalam keteduhan damai, membiarkanku gesang terkikis rasa.
Di suatu hari yang pedih...
Kau tahu, jiwaku terasa padat, hambar, menggumpal, ingin meledakkan setiap amarah yang perlahan mengendap di dasar hati. Silva, mentariku, berapa lama...?
“Mimpi, kau tak perlu menangis, bukankah kau mampu mencipta cinta? Bukankah kau hidup karenanya?” Peri Agung menyapa.
Aku menggeleng. “Tidak, Peri, semua cintaku telah tercurah untuk Silva, kini aku bukanlah apa-apa, Peri, tapi dia meninggalkanku,” mataku kembali berair.
“Mimpi, dengar, manusia yang merebut Silva darimu sesungguhnya adalah adiknya yang telah lama hilang, tahukah kau?” Peri kembali berkata. Sungguhkah demikian? Entahlah.
“Percayalah, mimpi, dia akan kembali padamu,meski harus terluka. “Peri tlah lenyap sebelum aku bertanya.
“Jadi, benarkah bahwa Dipa telah dibuang?” aku menatap Nastiti dan Rakananta yang tertunduk sedari tadi. Tak bicara. “Mengapa kalian membuangnya?” aku kembali bertanya, Rakananta mulai mengangkat muka.
“Ka-kami tak-tak i-ngin se-seluruh wa-warga de-desa menjadi san-santapan srigala” gagap Rakananta menjawab. Srigala? Hanya itu? Sungguh malang Dipa. “Tak adakah jalan lain untuk mengusirnya?”
“Ada” kali ini Nastiti. “Asal bisa mengembalikan jiwa laki-laki Dipa seutuhnya atau...” ia diam.
“Jalan lain?” aku terus mengejar.
“Ya, atau menjadikan Silva kekasih selamanya,” tutup Nastiti sendu. “Akan aku lakukan itu!” aku beranjak, langkahku menuntunku pulang.

Saat hariku masih mendung...
Mentari,
Tak tahukah kau
Gerimis ini begitu menyiksa
Awan licik itu kan buatmu binasa
Lebur dan musnah
Mentari,
Gersang ini menyemaikan mekar
Petir ini buat dunia menari
Namun sungguh mentari,
Tidak bila tanpamu...
“Troya, akankah kau diam selamanya?” mentariku muncul. Wajahnya sewarna gerimis. “Silva, dengar aku, percayalah, Dipa adalah adikmu,” suaraku di ambang lenyap, Silva menggeleng.
“Troya, apa maksudmu? Siapa Dipa?” ada riak kemarahan di sana, namun sinar kebohongan itu tak terbantahkan. Aku bergeming. Diam.

0 komentar:

Posting Komentar