Oleh : Ana Marita
Pukul 13.00 bel tanda berakhirnya kegiatan belajar hari ini, semua siswa menikmati moment-moment terakhir.
Pukul 13.00 bel tanda berakhirnya kegiatan belajar hari ini, semua siswa menikmati moment-moment terakhir.
“Cha,
aku duluan ya?” pamit Lena, teman sebangku yang sekaligus teman akrabnya.
“Iya-iya
yang mau dijemput cowoknya...,cieeeeeeeeeeeee...” canda Icha.
“Iya
dong, duluan yach...,” ulang Lena.
“Iya
bawel, buruan gih ntar dia kelamaan nunggunya,” balas Icha.
“Ok,
Ok, daaaaaaa Icha,” jawab Lena sambil beranjak.
“Huuuhh,
pake acara hujan segala sih, mana gak bawa payung lagi. Payah!!!” gumam Icha.
“Belum
pulang, Cha?” sapa Ilham teman sekelas Icha, yang tiba-tiba sudah duduk di
kursi sebelah Icha. Ia kira hanya tinggal dia yang di dalam kelas ini, namun
ternyata Ilham pun juga belum pulang.
“Em-em
be-belum, Ham,” jawab Icha terbata-bata sambil menahan napas karena grogi dan
kaget. Icha telah mengagumi sosok Ilham sejak awal mereka masuk SMA tiga bulan
yang lalu. Namun ia berusaha bersikap biasa saja, karena Icha tahu bahwa Ilham
sudah mempunyai cewek bernama Putri. Icha mengenal Putri sebagai sosok yang
baik, cantik dan pinter.
“Kok,
belum pulang? Ada ekskul, ya???” lanjut Ilham.
“Emmm
nggak kok, mau pulang tapi ujan, gak bawa payung. Kamu sendiri kok belum
pulang?”
“Sama
kayak kamu, nunggu ujan reda,” jawab Ilham sambil tersenyum.
Oh
my God, senyumnya manis banget, batin Icha. Meskipun ia satu kelas namun ia
hanya berani memperhatikan Ilham dari jauh dan bicara seperlunya saja.
“Bukannya
sekarang ekskul basket? Gak berangkat, Ham??” tanya Icha.
“Iya
sich... tapi libur gak tau napa” jawab Ilham.
Mereka masih terus melanjutkan
obrolan mereka tentang banyak hal. Tak lama kemudian hujan reda dan hanya
tinggal gerimis kecil-kecil. Icha pun beranjak dari kursi untuk pulang.
“Aku
pulang dulu ya, Ham...” pamit Icha.
“Aku
juga mau pulang, bareng aku aja yach, kan rumah kita satu arah...” ajak Ilham.
Jantung Icha langsung kaya mau
copot mendengar ajakan Ilham.
“Emangnya
kamu gak bareng sama cowokmu?” tanya Icha hati-hati.
“Cewekku?
Sapa?” Ilham balik bertanya.
“Alach
ntar ilang lhooo....” jawab Icha sambil tertawa. “Ya Putri lah” lanjut Icha.
“Aku
uda putus kok ma Putri,” jawab Ilham dengan raut sedih.
“Em-eh
maaf, Ham” jawab Icha sedikit cemas, karena dilihat dari raut wajahnyaIlham
terlihat begitu kehilangan Putri. Icha pun tak mau menanyakan apa sebab putusnya
mereka, takut menyinggung perasaan Ilham. Icha juga tak mau mengambil
kesempatan ini untuk menjadikan Ihham sebagai pacarnya, karena sepertinya Ilham
masih mencintai Putri dan kalau memang jodoh tak kan lari kemana.
“Iya-iya,,,
gak papa kok, nyantai aja lagi ma aku. Gak usah pake minta maaf segala. Ya udah
yuk pulang ntar keburu ujan lagi...” jawab Ilham.
“Beneran
nih gak da yang marah?” tanya Icha kembali.
“Beneran
gak ada Ichaaa,” jawab Ilham sambil
menggandeng tangan Icha menuju tempat parkir.
Icha hanya diam, ia masih agak
kaget karena Ilham yang menggandeng tangannya saat ini. Ditambah lagi ia agak
demam dan tiba-tiba klakson motor Ilham membuyarkan lamunannya.
“Kamu
kenapa Cha? Sakit ya?” tanya Ilham sambil memegang kening Icha.
“Emmm...
gak papa kok,” jawab Icha bohong.
“Tapi
kamu agak demam Cha, nih pke jaketku aja,” bujuk Ilham sambil melepaskan
jaketnya dan memaksa Icha untuk memakainya.
“Em...em...iya...iya,”
jawab Icha. “Thanks ya, Ham.”
Tak
lama kemudian motor yang memawa mereka berdua tiba di jalan dekat rumah Icha.
“Udah,
Ham nyampe sini aja. Tuh rumahku udah kelihatan dari sini. Thanks banget ya?”
kata Icha sambil turun setelah motor Ilham berhenti dan melepaskan jaketnya.
“Udah
dipake dulu jaketnya, ngembaliinnya kapan-kapan aja,” jawab Ilham yang langsung
tancap gas. “Dadah Icha,” lanjut Ilham sambil senyum.
Icha hanya melongo melihat
tingkah Ilham. “Dah juga,” jawab Icha terlambat.
Sesampainya di rumah ia langsung melesat
ke kamarnya untuk segera mandi dan sholat Ashar. Selesainya, ia hanya
tidur-tiduran sambil senyum-senyum sendiri teringat kejadian tadi. Ia tak
pernah menyangka orang yang selama ini ia kagumi akan sedekat dan sebaik tadi.
Tak lama kemudian hp-nya berdering, nomor
baru memanggil. Ketika diangkat terdengar suara laki-laki di seberang sana.
“Hallo,
Assalamu’alaikum.. nie bener no-nya Icha kan?” suara di seberang sana.
“Wa’alaikumsalam.
Iya bener, nie sapa?” jawab Icha.
“Ini
aku, Ilham. Inget kan?”
“Oh
Ilham, ya inget lah masa lupa sih. Da pa, Ham?” tanya Icha.
“Em.....
udah sembuh Cha demamnya?”
“He’e
uda lumayan kok Ham.”
“Ya
uda buat istirahat ya, Cha?
“Iya-iya
pasti kok.”
“Sip,
udah dulu ya Cha, met istirahat. Besok aku jemput kamu berangkat sekolah ya.
Wa’alaikum salam. Eh jangan lupa makan,” cerocos Ilham.
Belum sempat Icha menjawab,
Ilham sudah mematikan teleponnya. “Wa’alaikumsalam, dasar orang aneh,” Icha
berbicara sendiri.
Pagi
harinya Ilham benar-benar menjemput Icha di depan rumah setelah sedikit
berbasa-basi dengan mamanya Icha, mereka pun berangkat sekolah berboncengan.
Semenjak
kejadian kemarin kini Ilham dan Icha menjadi teman yang lebih akrab. Mereka
sering berangkat dan pulang sekolah bareng, main bareng, jalan, nonton,
ngerjain PR dan tugas bareng. Kadang juga kalau Icha ada ekstrakurikuler, maka
Ilham akan sabar menunggu Icha hingga selesai, begitu pula sebaliknya dengan
Icha. Dan sedikit semi sedikit mereka mengenal sifat satu sama lain.
Hari
silih berganti, minggu berganti bulan. Sudah lebih dari dua bulan mereka dekat.
Hingga suatu hari hal yang tak Icha duga terjadi.
“Cha
aku pingin ngomong sesuatu sama kamu, tapi kamu jangan marah ya?” kata Ilham
tengah itu mereka berada di parkiran yang nyaris kosong, karena hari itu sudah
sore dan hanya tinggal beberapa motor milik anak-anak yang belum selesai
mengikuti ekskul.
“Iya-iya
ngomong apa?” jawab Icha bingung.
Ilham berdiri di depan Icha dan
memegang tangannya.
“Cha
dengerin aku, aku sudah gak mau jadi temenmu lagi,” belum sempat Ilham
menyelesaikan kalimatnya, Icha sudah menyela lebih dulu. “Ok, aku bisa terima
kok. Kalau kamu udah gak mau jadi temen ku lagi”, jawab Icha sambil
menghentakkan tangannya dari genggaman Ilham. Dan menahan air mata yang akan
tumpah.
“Icha
sayang, aku belum selesai ngomong! Aku pingin kamu jadi cewekku, bukan hanya
sekedar teman. Aku cinta, sayang sama kamu Cha,” terang Ilham.
Icha tak bisa berkata apa-apa
dan ia memeluk Ilham untuk menyembunyikan wajahnya yang penuh air mata.
“Ilham
jahat. Aku kirain kamu beneran gak mau jadi temen aku lagi,” jawab Icha disela-sela
tangisnya.
“Aku
butuh jawaban kamu, Cha,” kata Ilham
sambil mencoba melepas pelukan Icha dan menghapus air mata yang masih tersisa
di pipi Icha.
Icha hanya diam dan menatap
Ilham dengan ekspresi yang aneh.
“Icha,
aku butuh jawabanmu sekarang,” ulang Ilham.
“Iya
Ilham, aku juga sayang dan cinta sama kamu,” jawaab Icha menunduk untuk
menyembunyikan mukanya yang merah.
Ilham tersenyum dan mengucapkan
terima kasih kepada Icha. Ilham pun memeluk Icha dengan penuh kasih. Di dalam
pikiran, Icha berkelana dengan harapan dan asanya bersama Ilham.
0 komentar:
Posting Komentar