Labels

Rabu, 09 Januari 2013

Awal yang Indah

Oleh : Ana Marita

Pukul 13.00 bel tanda berakhirnya kegiatan belajar hari ini, semua siswa menikmati moment-moment terakhir.
“Cha, aku duluan ya?” pamit Lena, teman sebangku yang sekaligus teman akrabnya.
“Iya-iya yang mau dijemput cowoknya...,cieeeeeeeeeeeee...” canda Icha.
“Iya dong, duluan yach...,” ulang Lena.
“Iya bawel, buruan gih ntar dia kelamaan nunggunya,” balas Icha.
“Ok, Ok, daaaaaaa Icha,” jawab Lena sambil beranjak.
“Daaaa juga,”  jawab Icha sambil terus menulis ringkasan di papan yang belum selesai ia catat.
               
Icha memasukkan semua buku tulisnya ke dalam tas dan beranjak untuk pulang, namun tiba-tiba hujan turun dengan deras.
“Huuuhh, pake acara hujan segala sih, mana gak bawa payung lagi. Payah!!!” gumam Icha.
“Belum pulang, Cha?” sapa Ilham teman sekelas Icha, yang tiba-tiba sudah duduk di kursi sebelah Icha. Ia kira hanya tinggal dia yang di dalam kelas ini, namun ternyata Ilham pun juga belum pulang.
“Em-em be-belum, Ham,” jawab Icha terbata-bata sambil menahan napas karena grogi dan kaget. Icha telah mengagumi sosok Ilham sejak awal mereka masuk SMA tiga bulan yang lalu. Namun ia berusaha bersikap biasa saja, karena Icha tahu bahwa Ilham sudah mempunyai cewek bernama Putri. Icha mengenal Putri sebagai sosok yang baik, cantik dan pinter.
“Kok, belum pulang? Ada ekskul, ya???” lanjut Ilham.
“Emmm nggak kok, mau pulang tapi ujan, gak bawa payung. Kamu sendiri kok belum pulang?”
“Sama kayak kamu, nunggu ujan reda,” jawab Ilham sambil tersenyum.
Oh my God, senyumnya manis banget, batin Icha. Meskipun ia satu kelas namun ia hanya berani memperhatikan Ilham dari jauh dan bicara seperlunya saja.
“Bukannya sekarang ekskul basket? Gak berangkat, Ham??” tanya Icha.
“Iya sich... tapi libur gak tau napa” jawab Ilham.
                Mereka masih terus melanjutkan obrolan mereka tentang banyak hal. Tak lama kemudian hujan reda dan hanya tinggal gerimis kecil-kecil. Icha pun beranjak dari kursi untuk pulang.
“Aku pulang dulu ya, Ham...” pamit Icha.
“Aku juga mau pulang, bareng aku aja yach, kan rumah kita satu arah...” ajak Ilham.
                Jantung Icha langsung kaya mau copot mendengar ajakan Ilham.
“Emangnya kamu gak bareng sama cowokmu?” tanya Icha hati-hati.
“Cewekku? Sapa?” Ilham balik bertanya.
“Alach ntar ilang lhooo....” jawab Icha sambil tertawa. “Ya Putri lah” lanjut Icha.
“Aku uda putus kok ma Putri,” jawab Ilham dengan raut sedih.
“Em-eh maaf, Ham” jawab Icha sedikit cemas, karena dilihat dari raut wajahnyaIlham terlihat begitu kehilangan Putri. Icha pun tak mau menanyakan apa sebab putusnya mereka, takut menyinggung perasaan Ilham. Icha juga tak mau mengambil kesempatan ini untuk menjadikan Ihham sebagai pacarnya, karena sepertinya Ilham masih mencintai Putri dan kalau memang jodoh tak kan lari kemana.
“Iya-iya,,, gak papa kok, nyantai aja lagi ma aku. Gak usah pake minta maaf segala. Ya udah yuk pulang ntar keburu ujan lagi...” jawab Ilham.
“Beneran nih gak da yang marah?” tanya Icha kembali.
“Beneran gak ada Ichaaa,”  jawab Ilham sambil menggandeng tangan Icha menuju tempat parkir.
                Icha hanya diam, ia masih agak kaget karena Ilham yang menggandeng tangannya saat ini. Ditambah lagi ia agak demam dan tiba-tiba klakson motor Ilham membuyarkan lamunannya.
“Kamu kenapa Cha? Sakit ya?” tanya Ilham sambil memegang kening Icha.
“Emmm... gak papa kok,”  jawab Icha bohong.
“Tapi kamu agak demam Cha, nih pke jaketku aja,” bujuk Ilham sambil melepaskan jaketnya dan memaksa Icha untuk memakainya.
“Em...em...iya...iya,”  jawab Icha. “Thanks ya, Ham.”
Tak lama kemudian motor yang memawa mereka berdua tiba di jalan dekat rumah Icha.
“Udah, Ham nyampe sini aja. Tuh rumahku udah kelihatan dari sini. Thanks banget ya?” kata Icha sambil turun setelah motor Ilham berhenti dan melepaskan jaketnya.
“Udah dipake dulu jaketnya, ngembaliinnya kapan-kapan aja,” jawab Ilham yang langsung tancap gas. “Dadah Icha,” lanjut Ilham sambil senyum.
                Icha hanya melongo melihat tingkah Ilham. “Dah juga,” jawab Icha terlambat.
Sesampainya di rumah ia langsung melesat ke kamarnya untuk segera mandi dan sholat Ashar. Selesainya, ia hanya tidur-tiduran sambil senyum-senyum sendiri teringat kejadian tadi. Ia tak pernah menyangka orang yang selama ini ia kagumi akan sedekat dan sebaik tadi.
Tak lama kemudian hp-nya berdering, nomor baru memanggil. Ketika diangkat terdengar suara laki-laki di seberang sana.
“Hallo, Assalamu’alaikum.. nie bener no-nya Icha kan?” suara di seberang sana.
“Wa’alaikumsalam. Iya bener, nie sapa?” jawab Icha.
“Ini aku, Ilham. Inget kan?”
“Oh Ilham, ya inget lah masa lupa sih. Da pa, Ham?” tanya Icha.
“Em..... udah sembuh Cha demamnya?”
“He’e uda lumayan kok Ham.”
“Ya uda buat istirahat ya, Cha?
“Iya-iya pasti kok.”
“Sip, udah dulu ya Cha, met istirahat. Besok aku jemput kamu berangkat sekolah ya. Wa’alaikum salam. Eh jangan lupa makan,” cerocos Ilham.
                Belum sempat Icha menjawab, Ilham sudah mematikan teleponnya. “Wa’alaikumsalam, dasar orang aneh,” Icha berbicara sendiri.
Pagi harinya Ilham benar-benar menjemput Icha di depan rumah setelah sedikit berbasa-basi dengan mamanya Icha, mereka pun berangkat sekolah berboncengan.
Semenjak kejadian kemarin kini Ilham dan Icha menjadi teman yang lebih akrab. Mereka sering berangkat dan pulang sekolah bareng, main bareng, jalan, nonton, ngerjain PR dan tugas bareng. Kadang juga kalau Icha ada ekstrakurikuler, maka Ilham akan sabar menunggu Icha hingga selesai, begitu pula sebaliknya dengan Icha. Dan sedikit semi sedikit mereka mengenal sifat satu sama lain.
Hari silih berganti, minggu berganti bulan. Sudah lebih dari dua bulan mereka dekat. Hingga suatu hari hal yang tak Icha duga terjadi.
“Cha aku pingin ngomong sesuatu sama kamu, tapi kamu jangan marah ya?” kata Ilham tengah itu mereka berada di parkiran yang nyaris kosong, karena hari itu sudah sore dan hanya tinggal beberapa motor milik anak-anak yang belum selesai mengikuti ekskul.
“Iya-iya ngomong apa?” jawab Icha bingung.
                Ilham berdiri di depan Icha dan memegang tangannya.
“Cha dengerin aku, aku sudah gak mau jadi temenmu lagi,” belum sempat Ilham menyelesaikan kalimatnya, Icha sudah menyela lebih dulu. “Ok, aku bisa terima kok. Kalau kamu udah gak mau jadi temen ku lagi”, jawab Icha sambil menghentakkan tangannya dari genggaman Ilham. Dan menahan air mata yang akan tumpah.
“Icha sayang, aku belum selesai ngomong! Aku pingin kamu jadi cewekku, bukan hanya sekedar teman. Aku cinta, sayang sama kamu Cha,” terang Ilham.
                Icha tak bisa berkata apa-apa dan ia memeluk Ilham untuk menyembunyikan wajahnya yang penuh air mata.
“Ilham jahat. Aku kirain kamu beneran gak mau jadi temen aku lagi,” jawab Icha disela-sela tangisnya.
“Aku butuh jawaban kamu, Cha,”  kata Ilham sambil mencoba melepas pelukan Icha dan menghapus air mata yang masih tersisa di pipi Icha.
                Icha hanya diam dan menatap Ilham dengan ekspresi yang aneh.
“Icha, aku butuh jawabanmu sekarang,” ulang Ilham.
“Iya Ilham, aku juga sayang dan cinta sama kamu,” jawaab Icha menunduk untuk menyembunyikan mukanya yang merah.
                Ilham tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada Icha. Ilham pun memeluk Icha dengan penuh kasih. Di dalam pikiran, Icha berkelana dengan harapan dan asanya bersama Ilham.

0 komentar:

Posting Komentar