Labels

Selasa, 08 Januari 2013

ANDAI AKU THOMAS ALVA EDISON


Oleh : Ana Marita

Hembusan angin yang masuk dari celah-celah ventilasi udara membuat lampu teplok tanpa kaca yang menjadi satu-satunya penerangan bagiku bergoyang. Sungguh tak nyaman belajar dengan keadaan seperti ini, namun apa boleh buat, Bapak tak mampu untuk membeli lampu petromaks. Sembari membersihkan lubang hidung yang kotor dan hitam-hitam karena menggunakan lampu teplok aku membayangkan bagaimana rasanya kalau bisa menggunakan lampu listrik untuk penerangan. Tapi semua itu mustahil. Usulan Bapak untuk membangun tiang listrik tak direspon sedikitpun. Aku kasihan sama Bapak, beliau harus siaga di setiap detik dan berlari-lari menuju pos penjagaan palang pintu kereta api. Tugas Bapak adalah menutup dan membuka palang pintu kereta yang nampak mudah, namun kenyataannya sulit juga untuk dilaksanakan.

Dulu penjaga palang pintu kereta sebelum Bapak adalah Pak Popon, beliau dipenjara atas kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang. Dan kini Bapakku lah yang menggantikannya. Sampai suatu saat, di malam yang dingin, hujan pula dan hanya terdengar suara kodok-kodok sawah yang saling bersahutan dan juga dibarengi teriakan petir dari langit, Bapak berlari-lari membawa lampu teplok menuju palang pintu. Beliau orang yang bertanggung jawab, jadi tak akan membiarkan satu kali pun palang terbuka saat kereta lewat. Namun sialnya pada suatu hari semua lampu teplok rusak dan tak ada yang dapat dipakai, lantas Bapak pergi dengan mengajakku. Terdengar kabar kalau truk-truk pengangkut tebu akan lalu lalang di jalur kereta, lantas Bapak bergegas berlari untuk menutup palang pintu. 
     
“Galih, bantu Bapak bawa obor
   “Ya Pak. Dengan sigap akupun ikut berlari-lari untuk menutup palang pintu di tengah malam yang                           sedang hujan lebat pula.
      “Firasat Bapak tidak enak hari ini.”
      “Ada apa Pak?”
      “Tak apalah.”
Dengan basah kuyup dan berlari-lari aku dan Bapak lantas tiba tepat waktu di palang pintu. Bapak memberhentikan truk yang hendak lewat. Semua sopir truk menuruti apa kata Bapak. Dan kebetulan saat itu palang pintu kereta mengalami kerusakan, jadi Bapak memberhentikan truk dengan menelantangkan tangannya. Setelah kereta lewat, trul-truk diperbolehkan Bapak untuk melewati rel. Aku dan Bapak kemudian bercakap-cakap di pos penjaga pintu rel kereta dengan kondisi kedinginan. Kami sengaja belum pulang karena kabar mengatakan beberapa jam lagi akan lewat kereta penumpang.
      “Apa enaknya jadi penjaga palang pintu Pak?”
      “Ya seperti ini, kau sudah bisa lihat sendiri. Kata bapak sambil melirik ke arah jalur rel.”
      “Kenapa Bapak mau menjadi penjaga palang pintu?”
      “Ini semua tugas mulia yang Bapak emban, tugas mulia untuk menjaga keselamatan banyak orang. Hidup mati Bapak mungkin sudah menyatu dengan palang pintu ini.”
Dalam hatiku berbisik (Sungguh mulia hati Bapak ku ini)
        “Galih, jika kau jadi penegak hukum jadilah penegak hukum yang adil, jangan kau melukai seseorang macam Pak Popon itu, beliau sebetulnya tak salah atas kecelakaan itu, namun memang beliau tidak diberi kabar kalau akan ada kereta yang lewat jadi sesungguhnya itu bukanlah kesalahannya.”
        “Ya, Pak.” Aku menjawab sambil menunduk malu, karena aku yang menggembor-gemborkan masalah Pak Popon ke teman-teman di SMP ku, dan ternyata ceritaku selama ini salah.
        “Galih, berjanjilah kau akan memajukan kampung kita ini.”
        “Ya, Pak.”
        “Jadilah seperti Thomas Alfa Edison, beliau menemukan banyak hal yang bermanfaat bagi khalayak.”
        “Baik, Pak, Edison juga salah satu penemu idolaku, karena sudah ribuan yang beliau temukan saat semasa hidupnya.”

Sepuluh menit menjelang kereta penumpang lewat, salah satu truck mogok tepat di tengah rel kereta yang akan dilewati, lalu Bapak berusaha keras mendorong truck agar keluar dari jebakan alam itu.
Lima menit menjelang kereta lewat, hanya tinggal separuh lagi truck dapat keluar dari jebakan alam, aku yang berdiri di depan pos berharap-harap cemas melihat usaha Bapak yang tanpaa dibantu siapa-siapa mendorong truck itu sendiri, sedangkan sopir truck memacu kendaraannya agar bisa jalan.
Dua menit menjelang kereta lewat, akhirnya truck dapat keluar dari jebakan alam itu, namu naasnya kaki Bapak yang terselip diantara rel dan permukaan tanah. Aku dan sopit truck hanya mampu berteriak kalau keretanya sudah dekat. Sejuta air mata ku curahkan ketika aku harus melihat Bapakku berjuang menyelamatkan diri. Ingin rasanya aku membantu, namun apa daya, Bapak tak mengizinkan aku untuk ikut menyelamatkannya. Beliau begitu sayang padaku dan tak ingin hal buruk terjadi padaku. Seketika itu pula aku lemas bahkan kehabisan air mata untuk ku curahkan lagi.
Lima tahun setelah kejadian naas itu terjadi, kampungku sudah mengalami banyak kemajuan. Usulanku untuk membangun PLTA diwujudkan oleh perangkat desa dan dengan bantuan pemerintah hal itu dapat terwujud. Kini kampungku telah terang dibalut kerlap-kerlipnya lampu rumah dan palang pintu kereta pun sudah dibangun secara otomatis. Aku melanjutkan studi ku di Jerman, karena beasiswa yang aku dapat dan jauh meninggalkan kampungku untuk mewujudkan impian dan harapan Bapak ku. Hanya tinggal mamak dan adik perempuanku yang menanti kedatanganku pulang serta lelaki tua renta yang duduk dikursi roda yang tak lain adalah Bapakku yang harus kehilangan satu kakinya saat bertugas yang selalu berharap aku dapat memberi hal-hal bermanfaat bagi khalayak.

0 komentar:

Posting Komentar